BERANI MENGALAH
(Sebuah Percikan Permenungan)
Salah satu episode dalam film yang berjudul "Abraham" sungguh memukau,
karena di situ dikisahkan bagaimana sang tokoh berani memilih untuk
mengalah setelah kemenakannya, yang bernama Lot memilih terlebih dahulu.
Kata-katanya yang terkenal, "Kalau kamu ke kanan, aku ke kiri, kalau kamu
ke kiri aku ke kanan". Suatu sikap mengalah yang luar biasa. Sikap yang
mengalah tidak selamanya kalah, tetapi nanti suatu saat akan memetik
hasilnya. Lihat saja tokoh Jean Valjean dalam novel legendaris "Les
Miserables" tulisan Victor Hugo (1802-1885) bagaimana ia begitu terobsesi
untuk mencintai orang lain, dengan mengadopsi Cosette, anak tidak sah dari
Fantine, meskipun banyak tantangan dari pelbagai pihak. Sudah menjadi
pemandangan umum bahwa orang yang kalah berarti salah. Olah karena itu, ada
sikap gengsi untuk mengakui segala kelemahannya.
Memang dunia ini seolah-olah milik para pemenang dan bukan milik pecundang.
Bagaimana orang-orang yang memenangkan sebuah pertandingan ? Bukankah
mereka diarak serta disambut dengan kalung bunga dan diarak di atas mobil
terbuka disertai sorak-sorai ? Ketika raja Nebukadnezar (605-562 s.M) raja
Babel berhasil melumpuhkan negeri Yehuda, maka dengan semangat dia
berteriak, "Dunia ini adalah milikku." Sebagai pemenang, sang Raja bebas
bertindak apa saja yang ia kehendaki. Sedangkan yang kalah dianggap sebagai
budak. Juga Pharoh, yang dianggap sebagai Dewa yang hidup senantiasa
bertindak sewenang-senang, karena pasti memenangkan segala perkara. Bahkan
dirinya tidak mau kalah dengan dunia kematian, sehingga dibangunlah
piramida yang menurut kepercayaan orang Mesir, sang Raja yang disemayamkan
di tengah piramida itu tidak akan mati.
Kisah-kisah klasik seperti "Jane Eyre" tulisan Charlotte Bronte atau "Si
Bongkok dari Notre Dame" tulisan Victor Hugo, adalah sepenggal cerita yang
hendak mengemukakan tentang perjuangan yang kalah, namun pada akhir cerita
mendapatkan kemuliaan. Jane Eyre hidup dalam penderitaan yang luar biasa.
Namun pada akhirnya menemukan jodoh yang setia kepadanya. Dunia sufi
mengenal ilmu yang namanya "wani ngalah luhur wekasane" yang artinya kalau
kita sabar akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Bukankah dunia
pewayangan senantiasa mengkisahkan orang-orang yang pada awalnya kalah,
namun pada akhir cerita mendapatkan kemuliaan serta kejayaan. Para putera
Raja, yakni sang pangeran tidak langsung menduduki tahta yang nikmat,
melainkan harus melewati pelbagai cobaan yang amat berat. Dalam "Ramayana"
putra mahkota harus mengalami "pembuangan" selama 12 tahun. Demikian pula
dalam "Mahabaratha" para putra
Pandawa harus dihukum di hutan belantara selama 12 tahun. Memang, dalam
dunia yang mengagungkan kekuasaan dan kekayaan, mereka dipandang sebagai
orang yang kalah. Tetapi dalam kisah-kisah wira-cerita di atas hendak
memberikan makna yang mendalam kepada kita bahwa penderitaan yang
dilandaskan pada kejujuran, ketulusan dan keiklasan, akhirnya mendapatkan
kemenangan dan kemuliaan ataupun mahkota. (no cross no crown).
Banyak kisah nyata yang sebenarnya hendak mempermalukan orang-orang cerdik
pandai. Di Indonesia ini, terlahir orang-orang yang tidak mengandalkan
gelar sebagai wibawa akademik untuk menuliskan sebuah buku. Lihat saja
Sujatmoko alm, Pramudya Ananta Toer alm, Andreas Harefa, dan Andre Wongso
adalah
orang-orang yang tidak memiliki gelar, namun mereka sangat produktif dalam
menelurkan karya-karya ilmiah. Dari segi gelar mereka kalah, namun,
kemenangan gelar akademik tidak berarti menang pula dalam produktivitas
karya-karyanya. Bukankah banyak doktor mandul dalam menuangkan gagasannya.
Saya pernah mendengar ungkapan yang berbunyi, "Menjadi doktor merupakan
puncak dari segala segala praktek ilmiah." Dalam hal ini, gelar doktor
dianggap sebagai tujuan,
sehingga ketika orang sudah mendapatkannya, berhenti pula untuk belajar.
Keberanian untuk mengalah harus diimbangi dengan kebesaran jiwa. Ambil
contoh para misionaris lampau seperti Fransiskus Xaverius. Orang selalu
terheran-heran melihat kekuatan fisik dan mental yang dimilikinya ketika
menjelejahi tanah-tanah asing, berhadapan dengan situasi-situasi penuh
tantangan. Pepatah mengatakan, "Senjata paling digdaya adalah hati manusia
yang berkobar-kobar untuk menaklukkan dunia." Tetapi kita harus juga
mengerti bahwa kemenangan atas dunia itu pertama-tama disadari sebagai
kemenangan atas diri sendiri. Pepatah Latin, "vincit qui se vincit" yang
artinya yang dapat menang adalah yang dapat mengalahkan dirinya sendiri
dapat memberi juga inspirasi bagi permenungan ini. Nabi Muhammad (570-632)
juga pernah mengatakan kepada para pengikutnya, "Perang yang kita lalui
kemarin, belum apa-apa dibandingkan dengan perang yang akan kita hadapi
yakni berperang melawan diri sendiri."
(Sebuah Percikan Permenungan)
Salah satu episode dalam film yang berjudul "Abraham" sungguh memukau,
karena di situ dikisahkan bagaimana sang tokoh berani memilih untuk
mengalah setelah kemenakannya, yang bernama Lot memilih terlebih dahulu.
Kata-katanya yang terkenal, "Kalau kamu ke kanan, aku ke kiri, kalau kamu
ke kiri aku ke kanan". Suatu sikap mengalah yang luar biasa. Sikap yang
mengalah tidak selamanya kalah, tetapi nanti suatu saat akan memetik
hasilnya. Lihat saja tokoh Jean Valjean dalam novel legendaris "Les
Miserables" tulisan Victor Hugo (1802-1885) bagaimana ia begitu terobsesi
untuk mencintai orang lain, dengan mengadopsi Cosette, anak tidak sah dari
Fantine, meskipun banyak tantangan dari pelbagai pihak. Sudah menjadi
pemandangan umum bahwa orang yang kalah berarti salah. Olah karena itu, ada
sikap gengsi untuk mengakui segala kelemahannya.
Memang dunia ini seolah-olah milik para pemenang dan bukan milik pecundang.
Bagaimana orang-orang yang memenangkan sebuah pertandingan ? Bukankah
mereka diarak serta disambut dengan kalung bunga dan diarak di atas mobil
terbuka disertai sorak-sorai ? Ketika raja Nebukadnezar (605-562 s.M) raja
Babel berhasil melumpuhkan negeri Yehuda, maka dengan semangat dia
berteriak, "Dunia ini adalah milikku." Sebagai pemenang, sang Raja bebas
bertindak apa saja yang ia kehendaki. Sedangkan yang kalah dianggap sebagai
budak. Juga Pharoh, yang dianggap sebagai Dewa yang hidup senantiasa
bertindak sewenang-senang, karena pasti memenangkan segala perkara. Bahkan
dirinya tidak mau kalah dengan dunia kematian, sehingga dibangunlah
piramida yang menurut kepercayaan orang Mesir, sang Raja yang disemayamkan
di tengah piramida itu tidak akan mati.
Kisah-kisah klasik seperti "Jane Eyre" tulisan Charlotte Bronte atau "Si
Bongkok dari Notre Dame" tulisan Victor Hugo, adalah sepenggal cerita yang
hendak mengemukakan tentang perjuangan yang kalah, namun pada akhir cerita
mendapatkan kemuliaan. Jane Eyre hidup dalam penderitaan yang luar biasa.
Namun pada akhirnya menemukan jodoh yang setia kepadanya. Dunia sufi
mengenal ilmu yang namanya "wani ngalah luhur wekasane" yang artinya kalau
kita sabar akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Bukankah dunia
pewayangan senantiasa mengkisahkan orang-orang yang pada awalnya kalah,
namun pada akhir cerita mendapatkan kemuliaan serta kejayaan. Para putera
Raja, yakni sang pangeran tidak langsung menduduki tahta yang nikmat,
melainkan harus melewati pelbagai cobaan yang amat berat. Dalam "Ramayana"
putra mahkota harus mengalami "pembuangan" selama 12 tahun. Demikian pula
dalam "Mahabaratha" para putra
Pandawa harus dihukum di hutan belantara selama 12 tahun. Memang, dalam
dunia yang mengagungkan kekuasaan dan kekayaan, mereka dipandang sebagai
orang yang kalah. Tetapi dalam kisah-kisah wira-cerita di atas hendak
memberikan makna yang mendalam kepada kita bahwa penderitaan yang
dilandaskan pada kejujuran, ketulusan dan keiklasan, akhirnya mendapatkan
kemenangan dan kemuliaan ataupun mahkota. (no cross no crown).
Banyak kisah nyata yang sebenarnya hendak mempermalukan orang-orang cerdik
pandai. Di Indonesia ini, terlahir orang-orang yang tidak mengandalkan
gelar sebagai wibawa akademik untuk menuliskan sebuah buku. Lihat saja
Sujatmoko alm, Pramudya Ananta Toer alm, Andreas Harefa, dan Andre Wongso
adalah
orang-orang yang tidak memiliki gelar, namun mereka sangat produktif dalam
menelurkan karya-karya ilmiah. Dari segi gelar mereka kalah, namun,
kemenangan gelar akademik tidak berarti menang pula dalam produktivitas
karya-karyanya. Bukankah banyak doktor mandul dalam menuangkan gagasannya.
Saya pernah mendengar ungkapan yang berbunyi, "Menjadi doktor merupakan
puncak dari segala segala praktek ilmiah." Dalam hal ini, gelar doktor
dianggap sebagai tujuan,
sehingga ketika orang sudah mendapatkannya, berhenti pula untuk belajar.
Keberanian untuk mengalah harus diimbangi dengan kebesaran jiwa. Ambil
contoh para misionaris lampau seperti Fransiskus Xaverius. Orang selalu
terheran-heran melihat kekuatan fisik dan mental yang dimilikinya ketika
menjelejahi tanah-tanah asing, berhadapan dengan situasi-situasi penuh
tantangan. Pepatah mengatakan, "Senjata paling digdaya adalah hati manusia
yang berkobar-kobar untuk menaklukkan dunia." Tetapi kita harus juga
mengerti bahwa kemenangan atas dunia itu pertama-tama disadari sebagai
kemenangan atas diri sendiri. Pepatah Latin, "vincit qui se vincit" yang
artinya yang dapat menang adalah yang dapat mengalahkan dirinya sendiri
dapat memberi juga inspirasi bagi permenungan ini. Nabi Muhammad (570-632)
juga pernah mengatakan kepada para pengikutnya, "Perang yang kita lalui
kemarin, belum apa-apa dibandingkan dengan perang yang akan kita hadapi
yakni berperang melawan diri sendiri."
0 komentar:
Posting Komentar