Senin, 10 Desember 2012

Inteligensi dan IQ

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah:

Faktor bawaan atau keturunan

Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.

Faktor lingkungan

Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.

Inteligensi dan IQ

Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.

Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.

Pengukuran Inteligensi

Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.

Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

Inteligensi dan Bakat

Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.

Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

Inteligensi dan Kreativitas

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.

Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan

seminar nasional

AYO DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!!

foto-foto d3 teknik mesin UNDIP 2012





Gokart D3 Mesin Undip


akibat kurang tidur

Berikut 6 masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat kurangnya jam tidur, seperti dilansir prevention, Senin (16/7/2012) antara lain:

1. Penyakit Kardiovaskular

Tidur yang cukup sangatlah penting untuk kesehatan jantung Anda. Dalam jurnal Sleep yang diterbitkan tahun 2010, dicantumkan bahwa kurang tidur dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung.

Para peneliti di West Virginia University School of Medicine meninjau ulang data dari 30.397 orang yang berpartisipasi dalam studi yang dilakukan oleh National Health Interview pada tahun 2005. Berdasarkan tinjauan tersebut, diketahui bahwa orang yang memiliki jam tidur kurang dari 7 jam setiap malam berisiko terhadap penyakit jantung.

Bahkan wanita di bawah usia 60 tahun yang hanya tidur 5 jam atau kurang di malam hari, memiliki risiko 2 kali lipat mengembangkan penyakit jantung.

2. Diabetes

Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Diabetes pada tahun 2011, peneliti dari University of Chicago dan Northwestern University menemukan bahwa ketika penderita diabetes tipe 2 tidak memiliki jam tidur yang mencukupi di malam hari, akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah hingga 9 persen.

Selain itu, kurang tidur juga dapat meningkatkan kadar insulin hingga 30 persen dan meningkatkan resistensi insulin pada penderita diabetes tipe 2 hingga 43 persen.

3. Kanker Payudara

Peneliti dari Tohuku University Graduate School of Medicine di Jepang melakukan penelitian terhadap 24.000 wanita yang berusia 40 sampai 79 tahun dan menemukan bahwa peserta yang memiliki jam tidur kurang dari 6 jam setiap malamnya memiliki risiko kanker payudara 62 persen lebih besar dibandingkan peserta yang tidur hingga 9 jam setiap malam.

4. Masalah pada Kandung Kemih

Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh American Urological Association tahun 2011, para peneliti dari New England Research Institute menyatakan bahwa kurangnya jam tidur di malam hari meningkatkan risiko masalah pada kesehatan kandung kemihnya.

Penelitian tersebut dilakukan terhadap 4.145 pria dan wanita dewasa dan peneliti menemukan bahwa orang yang memiliki jam tidur kurang dari 5 jam setiap malamnya dan yang telah terjadi selama 5 tahun meningkatkan risiko nokturia hingga 80 sampai 90 persen.

Nokturia adalah kondisi kesehtan yang mengharuskan seseorang bangun di malam hari untuk buang air kecil atau jika tidak Anda dapat mengompol ketika tidur. Para peneliti menyatakan bahwa kurangnya tidur dapat menyebabkan peradangan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan masalah pada kandung kemih.

5. Kanker

Dalam sebuah studi terhadap 1.240 orang pada tahun oleh para peneliti dari Case Western University, menemukan bahwa orang yang tidurnya kurang dari 6 jam di malam hari berisiko menderita polip kolorektal yang dapat menjadi kanker hingga 47 persen dibanding orang yang memiliki jam tidur yang cukup.

6. Kematian

Sebuah studi yang dilakukan selama 10 tahun terhadap 16.000 orang oleh para peneliti di Copenhagen University menghubungkan antara kurang tidur dengan peningkatan risiko kematian.

Ternyata orang-orang di bawah usia 45 tahun yang tidak memiliki jam tidur yang cukup setiap malamnya memiliki risiko kematian dua kali lipat dibandingkan orang yang memiliki jam tidur yang cukup. Hal ini terjadi karena banyaknya efek buruk kurangnya jam tidur malam terhadap kesehatan seseorang.